foto : Rugito dalam pertunjukan Jaran Kencak Paju Gandrung,
“Sudah ndak perlu lagi memasang harapan terbaik buat diri saya sendiri. Yang terpenting sekarang ya untuk anak cucu. Anak-anak muda yang harus mau belajar dan mengerti. Menjadi seorang pengemban amanah, agar budaya tetap lestari.” Ujar Rugito, sesepuh pelaku seni Jaran Kencak Banyuwangi.
Rugito, pemilik kesenian Jaran Kencak Kelurahan Boyolangu, dikenal masyarakat dengan sebutan Mbahe Jaran Kencak. Karena beliau merupakan satu-satunya orang yang masih konsisten melestarikan budaya Jaran Kencak sejak memiliki kuda jenis Sandel pada tahun 1980 hingga kini.
Dengan ketelatenannya, sejak matahari terbit di pagi hari hingga terik panas mulai terasa, Rugito mengabdikan waktunya bersama kuda kesayangan. Ia berjalan kaki setiap hari melewati Rel Kereta Api, menuju kandang kuda yang tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri. Rasanya tidak ada kata lelah untuk memberi makan, membersihkan kandang, memandikan, serta tak lupa mengecek kesehatan kuda.
Baginya, kuda itu adalah saksi yang telah menemani proses perjalanan karir bapak dua anak ini. “Kalau pagi kayak gini, pasti rutin. Sudah tanggung jawab untuk merawat. Kuda ini sudah jadi teman bagi saya. Dari sebelum saya latih menjadi kuda untuk Jaran Kencak,” Jelas Rugito, sembari menyelesaikan kegiatannya membersihkan kandang.
Awalnya, Rugito menekuni kesenian ini dengan mengadakan arisan bersama para pemilik kuda lain yang ada di Banyuwangi. Menurutnya, pada zaman dahulu di masa awal kesenian ini banyak diminati, terdapat hingga 15 orang tersebar di wilayah Banyuwangi yang memiliki Kuda Sandel.
Mereka sepakat membentuk komunitas dengan menggelar arisan. Bagi yang memperoleh arisan tersebut, maka diwajibkan menggelar pertunjukan Kesenian Jaran Kencak. Lebih lanjut, Kata Rugito dalam perkembangan berikutnya, Kesenian ini hanya sering ditampilkan dalam acara khitanan. "Tadinya kan Jaran Kencak ini untuk pawai acara khitan. Jadi anak yang sunat dinaikkan ke punggung kuda lalu diarak untuk keliling kampung," Jelasnya.
Daya tarik budaya ini adalah dari makna mendalam nama Jaran Kencak yang berarti kuda-kuda lincah menari mengikuti irama lagu. "Dinamakan kencak itu karena cara kudanya memainkan kaki secara bergantian. Kakinya harus tepat mengikuti alunan musik gendang. Bila ada suara gong besar berbunyi, tanda lagu selesai maka kuda akan berhenti dengan sendirinya," Ujar Rugito.
Seiring berjalannya waktu, semakin sedikit orang yang mau menanggap Jaran Kencak. “Zaman dulu selalu rame, banyak yang tertarik naik kuda, anak-anak kecil jadi bersedia dikhitan kalau ditanggapi Jaran Kencak,” Jelas Rugito. Adanya hiburan-hiburan lain yang lebih populer dalam kemajuan zaman, membuat eksistensi Jaran Kencak semakin ditinggalkan. “Lama kelamaan, ada acara-acara khitan gitu, anak lebih suka hiburan dangdut atau apa yang sesuai perkembangan zaman modern,” Ujarnya.
Dikarenakan sudah tidak menjanjikan lagi, sebagian dari pemilik Jaran Kencak ada yang menjual kudanya dan beralih ke profesi lain. Dari sepinya peminat yang mau melestarikan budaya inilah, kata Rugito, sekitar tahun 1990 muncul ide dari seorang penekun Jaran Kencak bernama Ahmad Bajuri, untuk mengkolaborasikan Jaran Kencak dengan Tarian Gandrung yang dikenal dengan nama Jaran Kencak Paju Gandrung.
Merdunya irama tabuhan Gamelan dari Gending-gending jawa kuno pada suasana pagi menuju siang yang terik mulai terdengar. Jajaran ekor kuda hitam cantik sudah siap tampil bersama pemiliknya. Pakaian yang digunakan kuda pun sangat bagus dan terbuat dari bludru dengan manik – manik yang berwarna warni.
Setelah lengkap dengan kostum serta aksesoris berwarna mencolok, kuda-kuda masuk ke area pentas. Kuda jenis sandel mulai memperagakan aksinya mengikuti aba-aba sang pemilik, ditengah kerumunan penonton yang memadati area pentas sejak pagi hari. Kuda mengangguk-angguk sembari mengepak-ngepakkan kakinya mengikuti tabuhan gamelan.
Selain menari, kuda-kuda juga menunjukkan aksinya, duduk dan berdiri dengan dua kaki mengikuti isyarat dari sang pemilik. Kemudian para pesinden mulai bernyanyi gending-gending Tari Gandrung seusai gending pertama dan kedua selesai dibawakan. Tak lama kemudian, seorang wanita berkostum Gandrung Banyuwangi masuk ke area pentas.
Sang penari Gandrung menari-nari, dengan sesekali mengibaskan selendangnya ke arah kuda. Sesekali, penampilan sang Penari mendapatkan aplaus dari penonton. Gayanya yang luwes dan lincah membuat si pemaju selalu ingin menguntit pinggulnya. Layaknya manusia, kuda-kuda yang beraksi terlihat kompak menari bersama Gandrung mengikuti tabuhan gamelan.
Tak terasa, pertunjukan sudah sampai pada siang hari. Sengatan matahari, nampaknya tidak menyurutkan semangat sang Penari memadukan kepiawaian dalam mengiringi gerak kuda. Dilansir dari kabarrakyat.id, Menurut Dewi Retno Wulandari, seorang penari harus siap dan sehat secara fisik dan mental. "Yang penting harus menggunakan hati waktu tampil. Wajib membangun chemistry dengan hewan tersebut, jika tidak, atau gagal biasanya kuda akan semakin liar dan berjingkrak, tentu bahaya buat kita karena tenaga akan terkuras," ujar Penari yang identik dengan Tarian Jaran Goyang ini.
Budaya Jaran Kencak, kata pak Hilmi, ia tanggap agar mengapresiasi anak karena sudah bersedia dikhitan. Setelahnya, anak sepakat dan merasa senang karena diarak dan diajak berkeliling kampung bersama kuda yang telah dihias. “Ya kan seneng, kadang anak-anak kecil diiming-iming habis sunat naik kuda itu udah seneng. Akhirnya juga membantu tradisi islam (khitan) dapat terlaksana,” Ujarnya.
Penonton dalam pertunjukan ini juga merasa terhibur, menikmati sisi seni music gamelan dari gendhing-gendhing Jawa yang berhasil menaklukkan sang kuda mengikuti iramanya. “Tertarik karena kuda nya bagus dihias, menariknya juga ada atraksi dari kuda yang terlatih,” Jelas Agung Mas Irawan, salah satu anak muda pegiat budaya Banyuwangi dalam menyaksikan Jaran Kencak Paju Gandrung.
Ilustrasi diatas adalah deskripsi singkat proses jalannya pertunjukan Jaran Kencak Paju Gandrung saat ditampilkan oleh Masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri. Sesuai namanya, kesenian ini mengkolaborasikan Jaran Kencak dengan seni Tari Gandrung Banyuwangi. Rugito pun beralih, menekuni Jaran Kencak Paju Gandrung dalam karirnya.
Biasanya, sebelum berangkat menuju tempat pertunjukan Jaran Kencak tersebut, kuda-kuda akan dipasangi kostum serta aksesoris berwarna mencolok, seperti kemul (selimut/pelana) berwarna kuning keemasan, mahkota atau Jamang bercorak bunga berwarna warni, kalung dada, dan lengkap dengan ulur di sepanjang punggung kuda.
Tidak kalah penting, demi meningkatkan daya tarik kesenian ini, sang pemilik kuda juga mengenakan kostum yang sesuai dengan kepentingan dalam pertunjukan Jaran Kencak Paju Gandrung. “Pokoknya dalam tanggapan itu, selain kuda yang siap, pemilik juga pakai kostum yang disesuaikan lah intinya. Biar penonton juga nyaman dan menikmati pertunjukan.” Ujar Rugito.
Namun sejak dirintis pertama kali hingga sekarang, perpaduan Jaran Kencak dengan Tari Gandrung mendapat berbagai respon yang besar dari masyarakat. Rugito menceritakan, “Ada yang menilai dari sisi tidak etisnya seekor kuda yang memaju sang penari Gandrung, ada juga yang menyayangkan sisi filosofi berbeda antara Jaran Kencak dengan Tarian Gandrung.” Ungkap Rugito.
Karena sejak awal, Jaran Kencak dikenal hanya bersifat untuk komersial, sehingga tidak memiliki makna yang berarti, kecuali sekedar menjadi tontonan. Berbeda dengan sejarah Tari Gandrung yang melalui proses perjuangan atas semangat Masyarakat Banyuwangi setelah kalah melawan Penjajah Belanda pada tahun 1771.
Perubahan kesenian Jaran Kencak ini tidak hanya pada nama, namun lagu-lagu yang dimainkan pun juga dirubah dengan memakai lagu Gandrung seperti Seblang Lukinto, Seblang Sebuh, Sekar Jenang, Podho Nonton, Kembang Pepe, Pacu Gandrung, Kembang Dirmo serta Suntring-Suntring. Pihak masyarakat pun akhirnya menyayangkan perpaduan Jaran Kencak dengan seni Tari Gandrung tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain pihak masyarakat juga merasa bahwa tidak masalah jika dua kesenian ini digabungkan. Karena pada dasarnya, tujuan pertunjukan Jaran Kencak Paju Gandrung juga demi kelestarian dalam mempertahankan eksistensi budaya yang berkembang di Banyuwangi agar tidak punah tergerus zaman.
Kolaborasi antara budaya Jaran Kencak dengan tari Gandrung diharapkan dapat menghidupkan kembali eksistensi Jaran Kencak di masyarakat Banyuwangi karena Gandrung dikenal sebagai salah satu maskot kebanggaan Banyuwangi. Dukungan dari pemerintahan Banyuwangi sendiri, bagi para pemilik kuda Jaran Kencak yakni pihak AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Osing Nusantara), kata Rugito juga masih terus rutin dilakukan.
Setiap tahun, di Banyuwangi sendiri dalam gelaran tradisi Puter Kayun, dikenal sebagai ritual menapati janji warga Boyolangu kepada para leluhur yang telah berjasa membuka jalan di kawasan utara Banyuwangi. Mereka melakukan napak tilas dengan menaiki delman hias dari Kelurahan Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol pada bulan Syawal setiap tahunnya.
Penulis : Annisa Arahma
Persma Tinta Politeknik Negeri Banyuwangi
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.